.BELANDA ITU AKHIRNYA


.BELANDA ITU AKHIRNYA

Pertemuan saya dengan orang Belanda yang bernama Om Roland ini , ketika saya dan kakak saya pergi ke Jawa Tengah dengan KA di  Surabaya kami melihat ada seorang yang berhidung mancung  namun rambutnya hitam, tapi tidak bisa bahasa Indonesia. Dia bertanya kepada pramukari KA tujuan ke Yogya. Kebetulan kakak saya bisa bahasa Inggris meskipun tidak banyak. Kemudian dia membantu pramugari itu. Kakak saya mengatakan bahwa dia bisa bersama kami menuju ke sana, kebetulan sekali juga kami akan ke  dekat Yogyakarta. Klaten. Akhirnya kami naik bersama dan kebetulan nomer tmpat duduk kami bersamaan. Berita diharap telepon berdering. Akhirnya kami di KA itu duduk bersama dan ngobrol ke sana kemari. Dia bercerita sebenarnya dia ingin sekali tinggal di Indonesia. Karena ayahnya orang Belanda dan sebaliknya ibunya orang Jakarta.  Tetapi dia belum tahu bisa atau tidak dan itu kapan. Dia setiap tahun mengunjungi Indonesia. Cutinya dari Kapal Nedloyd  selalu digunakan untuk berlibur di Indonesia. Dia begitu senang dengan Negara Indonesia, dan hati kecilnya ingin mati di Indonesia hanya entah dimana dan kapan itu. Terserah  saja. Saat itu saya yang belum bisa bahasa Inggris dengan lancar hanya mengangguk senyum dan tertawa manakala kakak saya tertawa. Dan mengangguk lagi saat ada penjual makanan kemudian orang Belanda itu menawarkan saya mau atau tidak. Kemudian saya hanya mengangguk-angguk  saja. Dan dia belikan saya hampir setiap makanan yang dijajakan di dalam kereta api itu. Sehingga  di sekitar tempat duduk kami penuh dengan makanan. Dia senyum   senang dengan sikap saya. Malu-malu kucing sama dengan malu-malunya orang Indonesia. Bikin malu. Disodorkan makanan, bilang jangan repot-repot, tapi habis juga!

Orang Belanda yang bernama Om Roland itu bercerita bahwa ayahnya keluar dari Indonesia tahun 1968 ketika negeri Indonesia menawarkan  bekas penjajah  itu mau tinggal di Indonesia atau kembali ke Belanda. Dia waktu itu berumur kurang lebih 28 tahun. Banyak di antara mereka yang kembali ke Belanda.  Dan banyak juga di antara mereka yang meninggalkan isterinya di Indonesia. Termasuk om Roland punya papa. Kami senang dengan perjalanan ini dan dia berjanji kepada kami akan memberikan apa saja yang diinginkan kami jika nanti sudah kembali ke Belanda asalkan mau berkirim surat kepadanya. Kami diharapkan bersurat kepadanya dan dia memberikan sebuah alamat pada kami. Kami simpan dengan baik. Dan kami berpisah di stariun Klaten.

Perjalanan kami ke Klaten sebenarnya karena kami ingin ikut keluarga (bude) agar bisa disekolahkan oleh mereka sebab memang ibu ayah kami tidak mampu. Namun nasib belum membawa saya ke arah itu ternyata hanya kakak saya saja yang diterima oleh Bude dan pakde saya. Kemudian otomatis saya kembali sendiri ke Malang. Dalam perjalanan ke Malang saya berpikir betapa enaknya bisa bahasa Inggris seperti kakak saya. Bisa dapat kenalan dan bisa makan gratis serta bisa mendengarkan cerita tentang negeri lain tanpa harus mengunjunginya. Saya harus bisa bahasa Inggris demikian tekad saya dalam hati. Entahlah kapan itu saya harus mulai belajar lebih giat lagi…………cita-cita tetap ada.

Tahun telah berlalu tahun dan sebab suatu pertemuan dengan orang Lombok akhirnya saya merantau di Lombok dan mulai  berkirim surat ke Om Roland. Surat pertama selembar surat yang saya  tulis selama 7 jam. Rasanya salah.Diperbaiki lagi. Salah lagi. Perbaiki lagi. Dan akhirnya sudah mantap rasanya.  Alhamdulillah hubungan kami baik dan terjalin dengan indahnya. Saya rajin bersurat karena  setiap  surat yang saya kirim pasti dibalas dengan uang luar negeri di dalamnya. Banyak. Puluhan ribu!!!! Surat-surat yang penuh kerinduan yang terpisahkan. Bahkan di kota kecil Gerung, di Lombok,  itu nama saya ngetop tahun 1978. Sebab  saya disangka orang barat oleh pak Pos, karena alamat surat Om Roland untuk saya itu  tertulis Mr. Triyono Budi Santoso. Ternyata saya hanyalah orang yang bangsa Indonesia kelahiran Jawa yang kemudian hijrah transmigrasi ke negeri Lombok dalam Indonesia juga.

Saya senang  bersurat ke Om Roland, karena setiap surat yang dikirimkan ke saya selalu berisi uang dollar, gulden dan uang negeri dimana dia berada saat itu. Karena dia seorang pelaut yang keliling dunia. Uang inilah yang memacu saya untuk terus berkirim surat dan belajar bahasa Inggris denagn buku-buku dan kamus yang saya beli dengan sebagian uang itu. bahasa Inggris saya makin baik dan nilai di sekolah makin bagus.

Dan suatu hari yang tak pernah terbayangkan oleh saya. Bulan September tahun 1980  ayah saya meninggal dan  meninggalkan ibu saya yang miskin itu dengan 8 anak yang belum satupun bekerja. Kesedihan dan penderitaan ibu dan adik saya berganti-ganti penopang ekonomi keluarga tidak ada. Dan hutang gali lobang tutup lubang adalah irama kehidupan keluarga saya. Ibu saya nampak makin kurus dan tua. Seorangpun dari kami belum ada yang bekerja. Semua masih sekolah. Saya di SPG, kakak saya pendidikan di Taruna. Dan kakak saya lainnya ikut pak de yang di Surabaya dan tidak bekerja apapun.
Ibu hanya rajin membaca  surat Al  Waqi’ah setiap selelsai sholat Maghrib dan Subuh. Malam juga bangun dan sholat Tahajjud dengan khusyu’nya. Setelah cukup hari saya kembali ke Lombok lagi. Melanjutkan Sekolah saya. Bersurat ke Om terus berlangsung tanpa henti. Minimal sebulan dua kali saya bersurat. Hingga satu tahun kemudian. Pas. Tahun 1981 sahabat saya Om Roland mengundang saya ke Surabaya menemuinya sebab kapalnya ternyata ngedok di Pelabuhan Perak, Surabaya untuk membongkar  muatan di sana. Akhirnya saya ke sana dan bertemu sahabat saya untuk yang kedua kali setelah lebih kurang 5 tahun berlalu. Dia masih nampak muda. Ramah dan masih seperti dulu. Senang menawarkan sesuatu kepada saya. Dia bawakan saya oleh-oleh buku dan baju-baju. Kemudian dia mengajak saya keliling pasar turi memborong sepatu dan baju  baju untuk adik-adik saya di Malang. Tidak lupa juga Ibu saya dibelikan baju dan sepatu. Kami senang dan diapun bahagia. Dia hanya tersenyum saja seperti dulu . Masih begitu.

Di rumah dijamu jajan tradisional oleh Ibu saya. Pengalaman seumur hidup yang tak terlupakan olehnya dan seorang temannya itu ketika makan JEMBLEM ( ketela pohon parut yang digoreng dan diisi gula merah lalu digoreng) gula jemblem itu nyemprot bajunya dan kami tidak menyangka akhirnya baju mereka kotor dan kami tertawa semua. “Saya bilang ini granat Indonesia Om. Belanda gak bisa buat makanan ini Om. Namanya aja gak tahu kan?” kata saya sedikit mengejek mereka dan mereka tertawa saja senang.

“Tidak..tidak…. bisa…..karena di sana tidak ada ini ya? “(sambil menunjuk jemblem itu).  Setelah    berbasa basi dan berpoto-potoan kami pulang kembali ke kapal. Ibu saya diberi sejumlah uang saya tidak tahu. Setiba di kapal  saya dipanggil olehnya dan dia berkata dengan lemah lembut. Saya deg-degan. Kaakndikasih apa Ya Allah saya? Apa gerangan yang akan dikatakannya? Atau mungkinkah saya mau diajak ke Belanda sana. Akhirnya…
“Begini Budi…. Kasihan Ibumu dan adik-adikmu…. Kamu sudah besar dan hampir tamat  SPG…. sehingga kamu harus mandiri. Saya akan bantu ibumu… dan adik-adikmu… yang masih kecil ya?” katanya dengan perlahan mungkin khawatir saya tersinggung atau apa…
“Saya hanya mengangguk karena sudah tahu makna awal kalimatnya itu……” saya agak sedih sebab berarti tahun 1981 ini bantuannya dihentikan. Uang dollar dan sejenisnya akan hilang dari tangan saya. Apa boleh buat. Saya agak sedih namun tak berdaya juga.

Mulai tahun 1980 bulan Oktober setelah bertemu dengan kakak saya yang di Taruna itu dia berikan saya buku untuk menjadi kaya dan mulia. Buku itu saya baca judulnya buku Asmaul Husna. Misalnya  YA Aziz yang mengatakan bahwa suatu hari saya akan diberikan kekayaan olehNya. Malah sekarang putus bantuan Om Roland kepada saya. Saya terima saja. Namun janji itu rupanya benar juga. Ternyata alhamdulillah tahun 1982 saya dapat bea siswa dari SuperSemar dari SPG. Dan tahun 1983 masuk PT dan dapat bea siswa Super Semar lagi. Kemudian berturut turut setelah tamat saya dapat pekerjaan mengajar di sebuah SMP Favorit di Mataram dan bahkan ditawari bea siswa manajemen perhotelan di Bandung. Lalu saya sholat istikhoroh dan kemudian hati saya menolak dan tetap menjadi guru.

Tak pernah disangka dan dinyana di belakang layar sepengatahuan saya tahun Om Rolanad berkirim surat menyatakan kasihan dan syang sama Ibu saya. Dan pada akhir tahun 1982 Om Roland mau menikahi Ibu saya di catatan sipil. Sebab Om itu tidak mau masuk Islam. Entahlah kenapa Ibu saya mau menikah lagi padahal usia beliau sudah 44 dan Om Roland sudah 41. dan Ibu saya tidak mungkin meninggalkan agama Islam ini. Mungkin inilah cinta di usia senja. Jodoh mungkin. Hanya DIA yang maha tahu dan luas pengetahuanNya. Semua  menjadi rahasia Ilahi. Om Roland yang senang dengan anak miskin dimanapun dia berada selalu bersama mereka. Apalagi keluarga saya adalah ibu yang kurus kering dengan 8 anak yatim. Miskin. Termasuk suatu ajaran Nabi yang dikerjakan oleh Om Roland yang pada akhirnya kami memanggilnya Papa, mengasihi dan membantu anak yatim.  Kehidupan terus bergulir indah. Satu persatu 4 anak ibu yang masih kecil-kecil menjadi gemuk dan sekolah semuanya. Mereka kuliah semuanya. Kami 4 orang yang sudah besar-besar tidak masuk daftar gaji Papa. Mereka akhirnya juga mempunyai pekerjaan. Kehidupan berubah menjadi semakin jaya dan kaya raya. Ada 1 mobil rumah dua dan tanah sebidang bertanamkan pohon kelapa dan sebagainya.
Alhamdulillah. Akan tetapi hati kecil saya berontak akan agama Ibu saya sebab mereka menikah dengan orang yang lain agama. Dan nikah dengan Catatan Sipil. Di hadapan Allah mereka tetap berzinah. Saya bingung dan gundah!  Saya berpikir tentang waktu dan trik bagaimana agar Papa bisa Islam. Hingga suatu hari ketika kami jumpa maka gejolak hati saya tidak bisa dibendung dan terjadilah dialog berikut ini. Masa berlangsung dengan dakwah yang selalu mengajak Papa masuk Islam. Target utama. Harus! Entah  hasilnya diserahkan kepadaNya. Saya hanya menyampaikan kebenaran  hakiki dari Ilahi.

Di suatu senja hari di rumahnya yang berlokasi di Lawang kami berdialog agak alot juga karena mungkin pengalaman saya belum banyak dalam dakwah Islam ini. Papa yang dulu selalu menjadi orang yang baik dengan mengundang orang sekitar rumah kami. Namun  ketika dakwah saya jalankan dia menjadi orang yang bisa marah dan menghina orang lain. Padahal sebelumnya tidak pernah membicarakan keburukan orang lain.   Tadinya dia mengundang orang kampung untuk makan minum dan bahkan dia bermain gaple dan untuk menghibur dirinya yang jauh dari negerinya Itu dengan orang Islam saja. Akan tetapi saya juga tidak kalah berdebat. Saya terus  berpikir bagaimana menjawab penjelasan papa bahwa orang islam itu buruk akhlaknya.
“ Pa, Ma . Maaf saya mau bicara dengan Papa dan mama di sini sekarang juga.”
“Masalah apa Bud?” tanya Papa.
“ Ya masalah agama papa. Dan mama. Dan saya mau menjelaskan kata-kata Papa yang mengatakan orang Islam itu jelek-jelek. Orang Arab,  Islam kuat kawin dan sebagainya. ”
“Kenapa? Kamu mau maksa saya masuk Islam seperti waktu-waktu lalu kamu bicara sama…saya…..itu?Cukup sudah bagi saya untuk mengetahui kebenaran itu bukan di sini.”
“Tidak paksa sih Pa. Masih tahap merayu dan menjelaskan lagi. Sekali lagi hingga Papa paham dan dengan kesucian hati mau mengikuti agama Nabi Muhammad SAW agama paling sempurna untuk semua manusia akhir zaman ini. Jika mereka  mau  masuk Surga lho Pa? Kalau tidak mau ya Allah juga tidak mau paksa kok. Wong masuk hotel berbintang lima saja papa tidak pernah ada yang memaksa kan?”
“ Alaaah… sudahlah… kan saya juga tidak ganggu orang dan menyakit hati orang lain. Kita beda agama yang penting tidak saling mengganggu saja kan aman?” Dia berkata sambil santai saja, sebab menurutnya pernikahan berbeda agama adalah hal yang tidak perlu diributkan dan dibingungkan sama sekali. Toh mereka berbeda agama namun satu tujuannya yakni Tuhan YME. Demikian yang sering diucapkan oleh Papa Roland.

“ Betul Pa. Gak masalah di dunia ini, namun nanti di akherat hukum yang berlaku kan hukum Allah dalam Al Qur’an.” Kata saya menjelaskan. Dan saya masih menahan kesabaran, sebab kadang  ingin sekali marah karena kebodohannya itu. Saya harus sabar, karena Nabi dulu sabar sekali dalam dakwah. Saya kan bukan Nabi atau keturunan Nabi, harus jauh lebih sabar. Saya manusia biasa yang dhoif. Sabar….! Sabaaar yaa…hatiku……
“Emang Islam itu yang benar? Terus Kristen dan agama lain itu tidak benar?”
“Ya memang Pa. Allah telah menetapkan agama Islam sebagai agama terakhir untuk manusia semuanya yang mau bertemu dengan Allah. Kalau Papa tidak mau berjumpa dengan DIA dan masuk Surga ya silahkan saja tidak masuk Islam. Memang banyak jalan menuju Roma, tapi menuju Allah di Surga hanya satu saja, Lailaha Illallah = Tiada tuhan selain Allah. ” saya mulai berani mendakwahkan agama Allah ini. Mudahan Allah bantu saya dalam  berbicara padanya. Sebab hari ini banyak orang yang mengkaburkan kebenaran Islam dan lebih banyak lagi yang tidak dakwahkan Islam kapada orang lain.
“ Kalau memang ISLAM agama yang benar, Kenapa terus banyak orang Islam tidak baik? Nipu saya berapa kali? Di Imigrasi , di kantor Polisi saya ditipu juga oleh mereka?” bahkan di London dan negeri Eropa lain saya lihat orang Arab minum mabuk dan main perempuan bahkan sampai, kamu tahu, (dia bisikkan saya) lima tujuh perempuan sekaligus?” katanya dengan semangat sekali. Saya berpikir dan berdo’a  dalam hati saya.
“ Sansal di masjid saja bisa hilang! Untuk apa saya masuk agama manusia penipu….Bud? Sudahlah kamu gak usah merayu saya atau beri saya penjelasan. Cukup sudah saya dengan tipuan mereka untuk mengetahui apakah agama itu benar atau tidak. Titik,”  dia begitu antusias sekali menjelaskan keadaan manusia Islam yang diketahuinya.
“ Pa……Emang di Belanda tidak ada orang jahat? Pencopet? Penjudi? Penjahat? Perampok? Pembunuh? Bagaimana di Amerika, Inggris, Perancis, Australia dan Italia dan juga negeri yang mayoritas orang Kristen apakah mereka tidak jahat? Gitu? Sandal gak hilang?“
“ Ya banyak juga dong.” katanya melemah.
“Nah itu kan? Yah sudah lah. Pokoknya kalau perkara seperti itu namanya sifat manusia pa. Papa yang rasional dong. Di Indonesia ini Papa banyak ditemani oleh orang kampung yang baik dan ramah-ramah. Berapa orang yang jahat, pa? Di Belanda Papa kan tidak banyak menemui orang yang saling bertegur sapa dan mengerdipkan mata dan senyum yang ikhlas tanpa pamrih kan? Apalagi ada yang cium tangan papa segala? Ya kan?! Ini perkara kecil yang berarti besar lho Pa. Ada gak yang cium tangan Papa di Belanda sana? Ada !!? Mana ada!!!? ”saya berkomentar dengan bangga. Karena memang inilah bangsaku yang ramah itu. Semoga ini akan membuka mata hatinya untuk bisa Islam.

“Sudahlah..saya belum mau dengar lagi penjelasan ini itu. Saya tidak bisa sholat dan gak bisa ngaji. Untuk apa!!!? Kalau hanya Islam kemudian gak sholat??? Biar dah saya begini adanya. Gak ke gereja. Gak ke masjid. Gak sakiti orang lain. Dan pokoknya gak sakiti hati kamu juga. Dan juga selalu berbuat baik kepada orang. Bud….. kamu tahukan....saya sedang capek dengan masalah….. di kantor Polisi tadi…? Kamu tahu kan aku diperas???” katanya menyalahkan saya juga kenapa tidak bisa membela dirinya saat diperas olehnya .
“Pa, bagaimana saya bela Papa? Papa kan  wajib lapor ke kantor Polisi, namun Papa gak lapor sebagai tamu asing. Kan sama saja saya bela orang yang salah Papa!?”
“Tapi kan saya punya paspor budaya dan saya mempunyai seorang isteri di sini?”
“Udahlah….. anggap saja….. buang sial Pa. Doakan saja biar… dia mampus kalau begitu caranya memeras orang saja kerjanya……Kalau…. Papa doa jelek, nanti Allah …..akan kabulkan do’a papa. Karena papa didholimi itu namanya. Misalnya sekarang Papa minta polisi tadi ditabrak mobil atau mati tidak baik, maka pasti Allah akan kabulkan do’a Papa. Apalagi Papa juga mengurusi anak yatim dengan ikhlas dan sedang berhijrah atau sebagai musafir dari Belanda ke Indonesia.”
“ Gak….usah…gak… usah itu Bud. Biarkan saja….. Yang penting bukan aku yang melakukannya…….kan beres.”  katanya seenaknya.
“Oh ya Pa ada yang ingin saya sampaikan perkara manusia Islam, Pa. Tapi kalau papa percaya. Nabi Papa, Nabi Muhammad dan Nabi semua manusia pernah bersabda demikian,” Seluruh ummatku akan masuk Surga. Semua dosa-dosanya diampuni dan mereka yang tidak menyembah Allah dan mengaku Lailaha Illallah Muhammadarrasulullah dinamakan sebagai Musyrik dan Ingkar atau Kafir. Mereka menyekutukan Tuhan YME dengan sesuatu yang diciptakan olehNya. Allah sangat benci sekali pada mereka dan dosa-dosa mereka tidak diampuni olehNya,” kata saya sambil menatap tajam ke dalam matanya yang mulai tenteram sejuk sekali dalam pandangannya. Entah apa dalam hatinya saat itu. Hanya DIA yang tahu akan perkara dalam hati manusia, semoga dia bisa terkena dengan kata-kata  saya itu.
Akhirnya pembicaraan berakhir tanpa keputusan. Kebiasaannya hidup di Indonesia dia hanya berlibur dan melihat isteri dan anak-anaknya setelah bekerja keras di kapal Nedloyd. Dia tidak ingin punya anak kandung. Cukup kami saja katanya. Dia hanya berkeliling bersama ibu saya. Ke Bali, Lombok dan juga daerah Jawa tengah. Borobudur dan Candi Prambanan merupakan tempat yang disenangi oleh Papa Roland. Pantai-pantai juga merupakan kunjungan yang hampir rutin manakala dia berada di Indonesia. Selain itu dia juga aktif mengunjungi sahabat-sahabatnya yang pernah ditemuinya dahulu. Mereka ada  di daerah Madura ataupun Jawa. Dan juga tidak kalah pentingnya dia mengunjungi yayasan yatim piatu dan memberikan donasi sebagian keuangan kepada beberapa anak di yayasan yatim piatu tersebut. Biasanya dana sendiri dan juga sebagian dana  dari Om-om dan tante-tantenya di Belanda. Beberapa orang Belanda yang saya tahu memberikan bantuan kepada Yayasan itu dengan senang hati. Belum seberapa itu!

Setelah beberapa bulan di Indonesia dia kembali ke Belanda lagi untuk bekerja selama enam bulan dan kemudian cuti sekitar 6 bulan pula. Saat itulah kami berusaha mengubah pola hidup ibu kami yang masih menganggap semua agama sama dan kehidupan yang pluralisme agama adalah syah-syah saja. Saya mulai ajak adik-adik saya mendakwahkan agama Islam pada Papa. Akan tetapi mereka menolak karena takut dan sungkan.  Saya ajak juga mereka untuk memberitahukan kepada ibu kami bahwa Papa bukanlah DEWA penolong. Namun Allah menolong Ibu dengan perantaraan Papa Roland. Sebab Ibu sendiri juga mempunyai amalan yang Nabi SAW pernah bersabda siapapun yang mengamalkan   akan dijamin jauh dari kefakiran dunia akherat oleh Allah SWT. Yakni membaca Surat Al Waqi’ah. Ibu selalu membacanya setiap malam dan pagi hari.  Bahkan Ibu juga rajin membaca do’a Cahaya Kenabian atau Nurrun nubuwwah yang bergitu banyak manfaat bagi diri dan kesehatannya. Allah jamin itu.
“Ma, mama harus tahu mengapa saya begitu gencar memberikan nasehat pada Papa. Bukankah Papa harus tahu tentang agama yang benar. Bukannya malah Mama membela seolah Papa juga tidak ada masalah dengan agama dia itu? Kita ini Ma ummat Islam adalah ummat utusan Allah. Sebab Nabi kita telah meninggal dunia. Dan dakwah  harus jalan terus sampai hari kiamat tiba kelak.” kata saya datar. “Sampaikan walaupun hanya satu ayat saja. Dan utamanya pada sanak kerabat yang terdekat dengan kita semua.”
“Tapi nanti kalau papamu marah gimana?  Mama ditinggalkan Papamu?“
“ Buktinya kan Papa tidak marah selama ini sama saya. Itu tergantung pada cara kita dong Ma. Mama lebih dekat dengan Papa. Bisa mempengaruhinya. Istri Nabi Adam saja bisa mempengaruhi nabi Adam  Ma?”
“Ibumu ini kan tidak bisa apa-apa Bud. Gak kuliah sekolah saja sampai SD. Kamu aja dah yang dakwahkan Papamu, tapi jangan kasar-kasar. Nanti Papamu lari kan susah mama. Mama yang do’a saja ya ? ”
“Ma kalau udah jodoh insya Allah gak lari. Mama do’a saja dan jangan membenarkan Papa di belakang saya lho. Nanti mentah lagi dakwah ini,” pesan saya dengan serius pada ibu kami.  Yang sudah sering kami panggil mama akhir-akhir ini. Sebab Papa memanggil Ibu kami Mami.

Demikianlah  beberapa gambaran percakapan kami tentang bagaimana program bersama untuk menjadikan papa bisa beragama Islam dalam lingkungan keluarga kami. Usaha saya yang menjadi single fighter dalam hal mengislamkan Papa, Alhamdulillah setelah berlangsung selama 18 tahun berhasil juga pada akhirnya. Bentrokan ide-ide memang berlangsung saja, namun saya yakin bahwa suatu ketika Papa mau Islam entah kapan. Karena dia punya sifat yang memungkinkan untuk memeluk ISLAM, kasih sayang dan tidak pamrih dalam berbuat baik,  senang membantu  anak yatim piatu. Saya tahu Papa tiri saya adalah sahabat saya sebelum dia menikahi ibu saya. Saya tahu sifatnya. Gak mau membicarakan keburukan orang lain. Mungkin memang ini sifat bangsa lain dari bangsa Indonesia. Dia tegas dan tidak mau menyangkut pautkan perkara lain dalam hal ini. Tidak mau ungkit ungkit kebaikannya selama ini. Bahkan dia juga tidak mau membicarakan keburukan orang lain di belakangnya. Kalau mau marah, marahlah dia. Jadi tidak ada muka dua dan lidah dua bercabang dan kepala dua negatip  dan positip.

Saya tahu sifatnya itu. Untuk itulah saya mesti menjelaskan dengan terang kepada saudara-saudara saya bahwa Papa tidak mungkin akan bercerai dengan Mama. Jadi dakwah harus jalan seperti bagaimana dulu Nabi SAW mendakwahkan keluarga beliau dan sanak famili beliau. Beliau dakwah dan berakhlak tinggi sehingga orang mengakui Islam agama yang agung dan memang menjadi rahmat seluruh alam. Pantas untuk didakwahkan agar orang lain mengambilnya sebagai pandangan hidup dan idealogi  hidupnya. Syukur pula  bahwa kami tidak berusaha memporoti  Papa  dalam semua hal. Keputusan apapun kami serahkan di tangan Papa dalam pembelian apapun sehingga kami tidak menggunting dalam lipatan.  Kami juga bangga dengan semua itu.

Trik kami adalah mama netral dan kami yang mampu bergerak menyampaikan dakwah terus dakwah sedangkan yang lain berakhlak baik, misalnya : mijitan dia, kami mencium tangannya seakan ayah kami sendiri, menyiapkan air panas untuk dia mandi,  berusaha menyenangkan hatinya  dengan mengikuti hobinya kecuali yang dilarang agama kita. Mincing, nonton televisi, main game,   main gaple, main catur dsb. Mama tidak ada hubungan dengan program pengislaman Papa dalam keluarga kami. Hanya do’a dan do’a saja.  Jadi tidak ada keributan Papa dan Mama. Kemungkinan yang terjadi adalah dia marah besar kepada saya sebagai orang yang getol sekali menjelaskan Islam. Kemudian dia  bisa jadi mengusir saya dari rumahnya. Dan itu memang kahirnya terjadi pada suatu percakapan ketika peristiwanya demikian ; suatu hari saya bertemu dengan dua orang yang sedang stress di dekat warung di Malang. Kemudian saya ajak pulang dan Papa melihat kedatangan kami dengan 2 orang itu. Saya perkenalkan mereka pada Papa dan mereka  minta diajari apa Al Qur’an dan apakah Islam itu. Saat saya akan mengajarkan mereka di rumah papa, maka Papa saya ajak menemui tamu saya itu. Dan saat saya sebut nama tamu itu pak Hendrik dan Yonas (yang terakhir saya lupa namanya) saya berkomentar bahwa mereka ingin belajar Islam. Makanya saya bukakan Al Qur’an dan menjelaskan tentang Islam pada mereka. Nampak Papa agak merah padam mukanya entah marah entah tersinggung yang jelas saya tidak tahu dalam hatinya. Hingga akhir  percakapan kami dengan Om Hendrik dan Yonas itu, ternyata Papa marah karena saya mengajarkan Pak Hendrik tentang Islam. Mungkin dia tersinggung  kenapa ada orang yang mau belajar agama Islam di rumahnya. Seakan mungin sindiran  bagi dia. Gak tahu!
“Kamu sombong! Kenapa ada tamu tidak kamu perkenalkan kepada saya?!” dia bersungut-sungut dengan nada naik mengungkapkan kata-kata itu. Sambil tangannya di pinggang dengan gagahnya.  Wah serem betul wajahnya saat itu. Tumben banget nih ya...
“ Sombong apa Pa?” kata saya tidak paham.
“ Ini rumah saya dan setiap orang yang datang harus saya ketahui dan harus dilaporkan pada saya!” dia tunjuk saya dengan garangnya.
“Oh, maaf Pa. Mungkin papa tidak dengar tadi kalau saya ajak Papa menemui Pak Hendrik dan ternyata papa tidak mau menerima jabatan tangannya. Papa gengsi melihat ada orang lain mau belajar tentang Islam?!” saya mulai naik darah juga. Ah ini memang kesalahan saya. Tapi kata telah terlontar juga. Sabar belum saya punyai nampaknya.
“Sementara  Papa tidak mau belajar gitu?! Papa harus ingat dong betapa saya cinta sekali dengan Papa. Cinta sejati yang tidak bisa dinilai dengan dunia ini. Berapa milliar Papa berikan Mama dan keluarga saya selama ini? Tolong dihitung Pa? Pa kerugian apakah lagi yang Papa alami dengan menikahi Ibu? Saya ganti dengan Surga Pa! Saya sumpah demi Allah,  bahwa saya selama ini mengajak papa kepada kebenaran hakiki dan cinta kasih sejati!!! Bukan cinta palsu. Dunia ini palsu Pa! Lailaha Illallah tidak bisa diukur dengan tujuh lapis langit maupun tujuh lapisan bumi dan segala isinya. Papa harus tahu itu.” Kata saya dengan sedikit emosi namun penuh  kasih sayang dalam setiap nada suara saya. Hidup akan segera berakhir! Kalau Papa tidak sholat, maka Papa akan menderita di kubur kelak. Karena kita diciptakan oleh Allah untuk menyembah kepadaNya! ( dialog ini berlangsung dalam bahasa Inggris karena bahasa Indonesia Papa kurang lancar).
“ Saya tidak mau dengar katamu! Saya bosan mendengar yang itu itu saja!!! Berapa kali saya harus mengatakan saya tidak mungkin Islam!!! Tidak mungkin!!! Paham ?!!!” dia sudah mulai nampak geram sekali dengan saya. Kami berjarak dengan meja saja yang tidak memungkinkan dia untuk menjamah saya dari jarak dia berdiri. Tangannya memegang meja dengan  tekanan penuh. Mama menangis melihat kami berdebat dan berteriak agar saya hentikan semua perkataan saya. Akan tetapi dakwah terus harus berlangsung, karena saya khawatir Papa semakin tua dan nanti bisa jadi mati tanpa kalimat Lailaha Illallah. Sehingga dia akan kekal dalam NerakaNya. Saya demikian cemas dengan keadaannya. Maka terus saya gempur  dengan kalimat-kalimat Ilahi.
“Mami tenang aja  Mi. Mami gak usah ikut campur. Saya tidak akan apa-apa sama Papa saya hanya akan jelaskan kepada Papa semua yang dia mungkin tidak tahu dan dia harus tahu. Sebab Papa makin tua dan khawatir saya papa….akan……”
“Jangan teruskan Bud. Tolong saya mohon Bud… Hentikanlah Ibu takut sekali Bud.”
“Saya mohon maaf Mi ya? Kali ini Mami ke sana saja dan tinggalkan kami berdua…” kata saya dengan lemah lembut. Dan syukurnya ibu saya menurut sambil menangis beliau  masuk ke kamar tidur. Mudahan berdo’a untuk saya dalam dakwah ini.
“ Oh, mungkin Papa malu!? Sama siapa!? Pendeta?! Pendeta Papa yang mana biar saya berdebat dan menjelaskan detail kepadanya akan kebenaran ini?! Papa carikan pendeta yang terbaik dimana papa temui dia. Saya siap menyampaikan kalimat Lailaha Illallah ini. Karena ini perintah dari Allah SWT agar Kitab Al Qur’an disampaikan kepada kerabat yang terdekat dengan kita. Papa bukan lagi kerabat saya, tapi ayah saya Pa!!! Paham Pa???!! Saya tidak ingin ayah saya masuk ke dalam apiNya Allah yang membara. Karena Papa mengingkari kalimat Lailaha Illallah ini. Ini cinta yang dulu pernah saya sampaikan bahwa suatu ketika akan saya tukar semua pemberian Papa denga cinta kasih sejati. Dengan SurgaNya  Pa. Terminal kebahagiaan kekal abadi bagi manusia semuanya.
“Cukup!!! Saya sudah tidak mau dengar kata-katamu. Sekarang keluar dari rumah saya. Cepat!!!!!!!” Atau saya bunuh kamu ya?” dia mengejar saya. Saya berputar mengelilingi meja kami berkejar-kejaran. Entah siapa yang menyaksikan kami, yang jelas adik saya dan Ibu dalam kamar tidur dekat ruang makan itu.
“Pa ini hari sedang hujan, Pa. Besuk dah Pa ya?” saya agak merayu dalam hati saya mau ketawa seperti dalam sinetron saja peristiwa ini. Saya menahan amarah karena kebodohannya itu.  Benar-benar geli hati saya  mengalami peristiwa ini.
“ Sekarang juga keluaaaaaaar. Saya sudah tidak tahan dengan kamu.!” Dia sambil berlari menuju saya. Saya terus menghindarinya. Saya berusaha lari ke arah pintu rumah sambil mnngait tas saya. Ibu keluar dari kamar tidur. Sementara Ibu saya menangis melarang saya keluar rumah sebab hari telah larut malam dan gerimis turun cukup banyak.
“ Baik. Saya akan keluar, Pa. Tapi ingat….. ini bukan rumah anda……dan ini rumah Allah. Bahkan anda juga milikNya. Dunia dan segala isinya ini milikNya dan kita diciptakan olehNya untuk beribadah kepadaNya.
Menyembah DIA bukan menyembah harta benda dunia. Semua  ini milik Allah!!!! Bukan milik Papa. Papa hanya dititipi saja. Paham Papa?! Anda lahir telanjang dan mati juga telanjang tidak bawa apapa. Semuanya kembali seperti semula papa NOL!”
Good byeeeeeee!!!” saya berlari keluar dengan sedikit sedih sebab hari mulai hujan dan tidak ada kendaraan yang bisa saya naiki. Entah kemana. Saya tidak tahu harus kemana. Akhirnya saya putuskan untuk mencari masjid besar saja. Tidur di sana saja. Mungkin lebih aman di rumah Allah SWT itu.  Bisa sholat tahajjud juga di sana mungkin nanti.
Maka dalam hujan itu saya berlari keluar sementara saya lihat keempat adik saya bengong tidak  bisa berbuat apapun kecuali menonton peristiwa itu. Dengan membawa tas plastik pakaian saya saya keluar meninggalkan rumah Papa. Hati saya ingin menangis tapi juga ingin tertawa. Ah memang agama ini membutuhkan pengorbanan. Papa kan orang yang belum paham. Mungkin suatu hari ia akan paham. Sekarang mungkin karena masih sehat sehingga dia menolak dan menolak terus agama Allah ini. Entahlah biar waktu memutuskan. Tapi mungkin do’a saya yang kurang. Dalam gerimis saya menangis dan berdo’a agar Allah Islamkan papa Roland sahabat saya itu. “Kasihani dia ya Allah…kasihani  dia ya Allah..dia begitu baik dengan orang-orang Islam…………….anak yatim piatu……… Dan orang-orang miskin. Allohumma sholli ‘ala Muhammad.”

Akhirnya sampailah saya di sebuah masjid dan pintu  masjid tertutup. Untunglah ada beberapa anak muda di dekat masjid. Kebetulan seseorang dari mereka tinggal dekat masjid itu dan mengajak saya tinggal di  rumahnya. Namun saya menolak karena saya ingin masuk masjid dan berdoa kepada Allah sebanyak saya mampu untuk papa dan manusia lain yang belum Islam. Dengan penjelasan bahwa pintu tidak mungkin dibuka karena merupakan aturan yang sudah tetap. Akhirnya saya mengalah dan diajak oleh mereka ke rumah seorang pemuda di antara mereka. Akhirnya dengan naik sepeda motor kami ke rumah pemuda itu. Ternyata di rumah pemuda itu mereka menanyakan kenapa dan darimana dan apa saja yang baru terjadi kepada saya kok hujan-hujan dan malam hari datang ke masjid itu.

Terpaksa juga saya jelaskan semuanya bahkan merekapun senang mendengarkan cerita tentang akherat. Kami bertanya jawab tentang Surga dan Neraka dan siapa saja yang diam di sana. Hingga diskusi berlangsung sampai mendekati Subuh dan kami sholat di masjid bersama-sama. Mereka senang sekali mendengarkan cerita terutama Surga dan apakah kebahagiaan hakiki itu. Dengan ilmu yang saya miliki  akhirnya mereka mengerti akan penjelasan saya bahwa hidup sesunggunya adalah di akherat kelak dan dunia ini adalah jembatan ke arah sana. Jika kita benar di dunia ini, maka akan sampai di seberang jembatan itu dan memperoleh kebahagiaan sejati. Jika sampai salah maka kita akan menderita selama-lamanya dan tidak mungkin bisa kembali ke dunia lagi untuk memperbaiki tingkah laku kita lagi karena ajal telah menjemput kita dan usia kita telah berakhir.

Dunia tempat kita beramal dan akherat tempat panennya. Di sinilah kita bangun jembatan akherat, pesawat akherat, istana akherat, dan segala fasilitas akherat. Makin banyak kita beramal sholeh, maka makin besar dan mulianya kedudukan kita di sisiNya. Dan kebanyakan manusia hari ini tidak paham dengan hal yang hakiki itu, itulah  pentingnya dakwah dan saling menasehatkan dan memperingatkan  agar manusia bisa Husnul Khotimah penuh dengan amalan sholeh. Berbuat  baik kepadaNya dan berbuat baik kepada manusia semuanya.

Esok harinya saya kembali ke rumah Papa lagi untuk mengklirkan masalah itu. Dia sedang di ruang makan di dekat dapur bukan tempat debat kami semalam itu. Setelah memberi salam saya senyum dan masuk ke dapur dimana Papa dan adik-adik dan mama berada. Sedang sarapan. Saya senang sekali dalam hati. Suasana aman bahagia sejahtera.
“Budi…, sudah tobatkah kamu sekarang?” dia bertanya seolah dia pemenangnya ketika melihat saya datang. Saya kemudian menjawab sekenanya saja.
“Papa yang harus tobat.” Kata saya datar saja sambil mencium keningnya. Dan segera saya cium tangannya yang sedang memegang sendok karena dia sedang duduk di dekat meja makan dan akan makan roti baker buatan Mama.
“Sudah……sudah…...kayak anak kecil saja,” sela Mama saya.” Budi, dah makan nih? Jangan terlalu keras sama Papa.  Kenapa sih kamu ini? Kasihan Papa. Papa kan mau liburan supaya tenang.” Mama menatap saya sambil penuh harapan damai di hati saya.
“Papamu kan baru liburan dari bekerja keras untuk kita. Harusnya kamu ajak jalan-jalan kek. Wong kamu juga jarang ketemu. Ya kan?” Mama bicara sambil mengatur makanan di atas meja. Memang benar. Saya jarang jumpa Papa dibandingkan adik-adik saya.
“Ya dah Mi. Saya mau diam mulai hari ini. Pokoknya semua udah saya sampaikan sampai hampir 18 tahun sejak pertama kali dulu saya bicara. Kalau memang  Mama bilang gitu, ya dah saya akan diam,“ kataku pada Mama. Papa cuek saja. Saya duduk dan makan pagi bersama dengan mama dan papa dan adik-adik.
“Makanya. Jadi sekarang lebih baik kamu ambil piring dan makan. Nih piring saya ambilkan, ”  kata Mama mengalah. Kebiasaan kami memanggil mami atau mama masih kadang terselip kata Ibu karena memang lebih lama memanggil Ibu daripada Mama atau mami. Yah itulah kehidupan manusia apa adanya di dunia ini.

“Pa …selamat makan dan semoga selamat sampai tujuan. KENYANG. “kata saya datar.
“Thank you,” kata Papa datar juga sambil matanya menatap mata saya. Saya tidak merespon. Biarlah waktu membaur dengan kami dan masalah menghambur lebur.
Beberapa bulan kemudian. Ketika Papa kembali ke Belanda dan terdengar kabar bahwa Papa kembali lagi ke Indonesia lebih cepat dari biasanya. Katanya  dia sakit, ternyata benar. Sakitnya di kepala tak ada yang tahu dan diberitahu oleh Papa meskipun pada akhirnya kami tahu juga. Kata dokter tumor otak dan  paru-parunya pecah. Namun dia tidak memberitahukan kami hanya saja dia sudah tidak mau berobat dan dia mengatakjan pada adik-adik saya bahwa tidak  ada dokter di Indonesia yang bisa menyembuhkan dia, kami tidak paham maksudnya. Mungkin dokter Belanda saja sudah angkat tangan apalagi dokter Indonesia.  Maklumlah papa perokok berat dan peminum tapi tidak berat. Beritanya diapun juga lumpuh separo. Badannya miring ke kiri. Dan tangannya yang kiri tidak bisa bergerak.

Benar saja ketika saya datang dari Pulau Lombok menemuinya di Malang, dia dalam keadaan sakit seperti  berita itu. Namun ia menolak untuk berobat. Dia bahkan mengatakan tidak ada dokter satupun yang bisa menyembuhkan. Umur Papa saat itu sekitar 59 tahun. Dan masih saya ingat ketika saya diskusi dan mengatakan padanya bahwa merokok itu mengurangkan umur. Papa Bilang Papanya saja belum mati-mati padahal dia perokok berat. Mengurangkan umur itu seharusnya seseorang umurnya 100 tahun baru umur 80 tahun sudah menemui ajalnya. Kata saya saat itu. Dalam keadaan seperti itu saya memijit lengannya sambil saya bacakan Bismillah keras-keras. Dan bahkan diapun sempat main-main dengan berkomentar. Banyuwangi. Saya tidak paham. Saya pijit terus sambil membaca Bismillah. Diapun menjawab, Banyuwangi.
Serta merta Ibu saya menjelaskan bahwa Papa itu mengejek saya dengan mengatakan Banyuwangi itu kota di ujung timur Jawa Timur. Maksudnya Bis MILA itu jurusan Banyuwangi. Oh saya baru paham. Kemudian saya tegaskan bahwa yang menyehatkan Allah dan memberikan sakit juga DIA. Panjang pendek umur manusia juga dia yang menentukan, namun manusia harus berdoa dan berusaha untuk panjang umur dan sehat dan taat. Kalau dia membinasakan diri dengan kegiatan yang akan memendekkan umurnya,  itu urusan manusia sendiri. Alhamdulillah saat itu ajaib sekali tangan kirinya mulai bisa bergerak dan mulai bisa memegang gelas.

“Yang menggerakkan ini Allah Pa. Karena kita sebut Bismillah beberapa kali. DIA senang sekali manakala ada manusia minta tolong kepadaNya. Sebab kebanyakan manusia hari ini hanya minta tolong kepada manusia atau selain Allah bukan pada Allah. Siapapun yang minta tolong padaNya pasti DIA akan bantu menyelesaikan segala permasalahannya. Lihat ini buktinya Pa. Ayo  gerakkan Pa.pegang gelas ini Pa.”
“Tapi saya gak bisa megang dengan baik.”
“Syukur sudah bisa bergerak Pa, tadinya kan lumpuh total. Syukur Alhamdulillah. Manusia aja tidak langsung jalan Pa. Bayi kemudian anak-anak dan dewasa dan tua kemudian meninggal dunia. Setahap demi setahap kan?  Besuk dipijit lagi.”
Dia diam saja mungkin merenungkan  kalimat saya  itu. Saya tidak pernah tahu isi hatinya. Selama ini hanya menduga-duga saja. Ya Allah kan? Pasti gak bisa tahu.

Setelah tidak berapa lama saya ingatkan lagi pesan Allah bahwa bolehlah kita mati namun harus berada dalam keadaan ISLAM. Sebab Allah berfirman dalam kitab Al Qur’an janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan ISLAM. Orang yang Islam itu mengucapkan Lailaha Illallah dan akan masuk ke dalam Surga. Kunci Surga itu LAILAHA ILLALLAH MUHAMMADARRASULULLAH. Kali ini dia diam saja dan nampaknya merenungi kata-kata saya. Saya cium keningnya dengan perasaan cinta.  Akhirnya terus saya nasehati kenapa manusia itu harus sholat, puasa dan melakukan kegiatan yang diperintahkan olehNya dan meninggalkan apa yang menjadi laranganNya. Sebab semua itu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Untuk mereka bahagia dunia dan akherat setelah meninggalkan dunia yang fana ini.

Nampaknya dia semakin baik kondisinya.  Tidak banyak membantah lagi. Karena saya harus mengajar di Lombok, maka saya kembali ke Lombok lagi setelah saya berikan papa uang 50 ribu. Kesehatannya nampak agak baikan beberapa hari setelah saya  datang.
“Pa ini uang yang seumur hidup tumben saya beri Papa. Sebab saya anggap Papa orang kaya selama ini. Jadi tidak butuh uang. Saya cium keningnya dan saya masukkan uang Rp.50.000,- di dalam sakunya untuk beli onde-onde (makanan kesenangannya)  Pa ya?” sambil saya sedih sekali berkata “ Maafin saya Pa ya? Saya belum pernah nyenengin Papa.  Beli onde-onde  sekarung Pa ya ?” ujarku sambil bergurau. Betapa sedihnya saya rupanya dia terharu dengan uang pemberian saya itu atau kata-kata saya. Saya lihat meneteslah air matanya. Saya memeluknya dengan sayang. Badannya makin kurus saja terasa. Saya cium keningnya  dengan menahan rasa sedih dan terharu. Papa sudah tua dan renta sekali. Umurnya  dihabiskan di Indonesia dalam keadaan tua mau mati di Indonesia negeri tumpah darahnya. Kami berpelukan mesra sekali. Dia bergemuruh dalam dadanya demikian juga saya. Apa yang pernah saya bayangkan ternyata menjadi kenyataan. Papa akhirnya pernah saya  berikan cinta sejati  yang tulus tanpat dinding harta dan apapun yang ada di dunia ini. Hanya Allah dan NabiNya target saya.
“Bud…Kamu hati-hati ya di jalan. Masih ada uang saku untuk pulang?” katanya sambil menatap saya seperti biasanya. Matanya masih sembab. Dia memang perhatian sekali dengan orang lain. Saya kening sekali lagi keningnya yang keriput banyak beban hidup.
“ Masih Pa. Ini pas dan sisa sedikit untuk beli jeruk dan apel untuk orang-orang di Lombok,” saya tunjukkan sisa uang saya sekitar 67 ribu rupiah. Saya juga ikut hanyut dalam keterharuan. Dalam hati saya semoga dia bisa Islam saja. Tiada lain hanya ISLAM.
“Udah Bud, jam berapa bismu nanti jalan?” ibu menyela kami.
“ Bentar Bu. Masih ada 45 menit lagi. Masih bisa ngejar dengan sepeda motor dik Bambang.” Kata saya masih ingin rasanya menemani Papa yang makin lembut di hatinya.
Inilah perpisahan saya dengan Papa sebelum detik-detik terakhir. Beberapa hari berlalu setelah perpisahan kami terakhir itu saya mendengar berita lagi bahwa Papa sudah komma dan di rawat di RS Supraoen. Ibu memberitahukan kabar bahwa Papa sejak terakhir saya pijit dan beri uang itu mulai berubah. Dia sudah mulai senang memberi salam dan memperhatikan orang sholat. Sehingga suatu hari sempat mengagetkan Ibu yang sedang sholat. Sewaktu Mami selesai roka’at ke empat dalam sholat Ashar  beliau menoleh ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan ASSALAMU’ALAIKUM wr wb. Ternyata Papa ada di sebelah kiri Ibu, sehingga Ibu kaget sekali melihatnya.
“Ihhhh Papa ..nih bikin kaget saya aja….!”
“Saya sedang belajar lihat orang sholat Mi. Masak tidak boleh?” katanya mengharap diiyakan.
“ Ya boleh dong Pa. Tapi kan bisa samaan. Kenapa Papa diam-diam gitu. Kan kaget saya jadinya.” Ibu agak merajuk.
“Ya kalau gitu maafin saya Mi ya? Tidak sengaja lho Mi.”

Dan sering juga kemudian dia aktif membuka Internet mencari Situs-situs Islam dan akhirnya mengambil Surat Al Kafirun dalam bahasa Indonesianya. Dan memberikan kepada Ibu saya. Nampaknya ia terkesan sekali dengan surat Al Kafirun itu.
“ Mi. Ini tadi saya ambil di Internet.” Dia sodorkan surat itu.
“Kenapa Pa? Oh…ini…….Udah dibaca semuanya….Pa?”
“Ya udah. Tapi masih banyak yang belum ngerti Mi.”
“Ya nanti kalau papa udah sembuh benar belajar sama anak-anak Papa aja biar lebih jelas. Tidak ada salahnya kita belajar meskipun sudah tua. Belajar agama itu sampai mati Pa baru selesai belajarnya. Sebab agama Islam itu luas dan indah kan Pa?”

Beberapa hari setelah dia belajar melihat orang sholat dan membuka surat Al Kafirun lagi dan belajar memberi salam dan marah-marah kalau ada orang menelpon ke rumah kami tanpa memberi salam dahulu.Dia mulai jatuh sakit dengan serius sekali sehingga tidak sadarkan diri. Adik kami membawanya ke Rumah Sehat.  Seharusnya sih Rumah sehat, tapi di negeri kita ini konyol sekali. Rumah Sehat. Jadinya banyak orang tambah sakit di sana. Nama itu kan do’a. Papa kami tidak ingat apa-apa. Adik saya yang nomer dua dari saya dia anak ke lima menilpon saya dan memberikan kabar tentang Papa kami.

Saya menanyakan apakah papa pernah disuruh baca shahadat. Dia menjawab dia sudah mengucapkan kalimat shahadat itu. Hati saya lega dan merasa bersyukur sekali kepadaNya. Sebab ini semua adalah pertolongan Allah SWT sehingga Papa mau bershahadat dalam usianya yang semakin kritis itu. Saya tidak tahu apa yang bakal terjadi. Kemudian saya datang ke Malang lagi dan melihat Papa dalam keadaan demikian. Saya  langsung mengajak kakak dan adik-adik kami sholat hajad dan berdoa khusus untuk Papa agar Allah berikan kesadaran padanya. Sehingga bisa kami berikan wasiat atau berbincang sedikit saja. Alhamdulillah akhirnya kami berhasil. Papa sadar sewaktu kami kembali dari masjid, sholat Maghrib dan Hajad untuk dia. Adik kami yaitu anak ke 5 adalah anak kesayangan Papa, manja dan sering membuat onar dan menghabiskan uangnya. Namun Papa tidak marah dan memberikan nasehat dengan lemah lembut kepada Nanang, namanya. Dia berkata di depan papa.
“Pa pingin apa pa? Saya belikan. Nanang kan udah bekerja sekarang?” tanya dia di dekat telinganya. Papa tetap diam saja matanya memandang ke atas. Untuk apa. Gak tahu.
Dengan menggaruk kepala belakangnya papa kemudian berkata agak tersendat-sendat:    ”Aku mau istana.” Adik saya bengong dan memandang ke arahku. Kemudian aku mengatakan pada mereka bahwa Papa tidak lagi melihat dunia kita. Namun akherat yang nampak di depan matanya. Sehingga waktu dia diberitahukan tentang kami satu persatu dengan nama masing-masing, dia hanya memandang dengan pandangan kosong jauh ke belakang kami yakni sesuatu yang di depan sana. Kemudian kami satu persatu bercerita tentang kenangan dan rencana kami jika papa sembuh dari sakit Papa. Ada  yang akan pergi keliling Jawa Bali dan Lombok. Ada yang merencakan mancing di Karang Kates Bendungan itu. Tetap saja pandangan Papa kosong dari makna. Kemudian kami membicarakan rencana pengobatan selanjutnya. Namun sebelum kami selesai memutuskan, kami mendapat telepon dari Belanda dan pihak Rumah Sehat yang memberitahukan bahwa Papa harus dibawa ke Jakarta untuk pengobatan selanjutnya.

Karena Papa kami menggunakan asuransi SOS Internasional. Akhirnya musyawarah memutuskan berangkat. Sebab jika terjadi apa-apa dengan kesehatan Papa, maka bisa jadi pihak Belanda marah kepada kami semua. Akhirnya  diputuskan besuk pagi harus berangkat ke Jakarta.  Kami berempat terbang. Pesawat terbang carteran asuransi SOS Papa. Ibu, tiga adik kami dan kru pesawat. Semuanya ada 9 atau 10 orang termasuk TIM medis dan pilot serta CoPilotnya. Ah enak juga naik pesawat pribadi. Carteran lagi!

Sesampainya di Rumah Sehat Cikini Jakarta semuanya sudah disiapkan. Kami tinggal masuk dan tanda tangan yang harus ditanda tangani. Sempat pula Papa sadar dan menanyakan dimana dia dan kami menjawab di sebuah Rumah Sehat Jakarta. Bagaimana biayanya juga ditanyakan oleh Papa. Kami menjawab Asuransi Papa yang membiayainya. Kemudian dia diam dan tidur kembali. Kami tinggal di Rumah Sehat itu sejak pukul 11 siang  kurang lebih sampai sore hari Papa masih tidur. Makanannya disuplai dari hidungnya. Berupa jus melon dan buah apel serta jus buah lainnya. Kami sebenanrnya sudah melarang memberikan buah jus itu, namun pihak Rumah Sehat memaksa karena itu semua prosedur dari dokter. Akhirnya kami mengalah dan kami hanya baca Yassin dan surat-surat lain dalam Al Qur’an. Hal ini membuat bingung pihak Rumah Sehat PGI             ( Persatuan Gereja Indonesia) di Cikini. Nama pasien adalah Gerrard Gerrit Roland. Tapi penjenguk dan penjaganya baca Al Qur’an semuanya dan sholat di masjid serta menggunakan jubah pula. Namun kami tidak memberikan respon dan jawaban atas kebingungan mereka sebab mereka kan tidak bertanya. Sejak kami datang sampai pukul sekitar 5 sore belum ada perubahan apa-apa pada diri Papa. Kami terus saja membaca Al Qur’an dan memanggil-panggil namanya. Berdoa kepada Allah agar dia termasuk orang yang diberikan rahmat. Bahkan sempat saya ingat bukankah sewaktu saya di Mekah tahun 1999 tahun lalu Papa saya doakan agar dapat hidayah bisa masuk Islam. Saya yakin Allah kabulkan doa itu. Namun kapan. Saya tidak tahu. Dan bukan Papa saya saja yang saya doakan. Bintang film dan pemusik serta penyanyi kesayangan kami dan anak-anak kami juga kami doakan. Baik dari Indonesia dan Dunia. seperti Jacky Chan dan Jacko dan lain-lain. Saya tempelkan kertas tulisan nama-nama artist dan aktris aktor di Ka’bah  sambil berdoa kepada Allah SWT. Karena saya waktu itu sadar betul bahwa saya adalah duta Allah bagi keluarga dan tetangga dan kenalan dan juga orang yang kita sayangi. Bukan haji saja. Duta Muslimin Muslimat. Hingga malam hari dia belum sadar. Masih saja nafasnya ngos-ngosan disela-sela jus yang ada dalam hidungnya atau tenggorokannya. Saya tidak tahu. Kasihan juga dia nampaknya. Ya Allah ..tolong dia…….

Malam Rabo hari itu kami merasa harus terus  menemani Papa. Kami membaca surat-surat dalam Al Quran hingga pukul 1 dinihari terbukalah mata Papa sambil melihat berkeliling. Adik sayua di sebelah kanan tangannya dan saya di sebelah kiri tangannya, sedangkan Ibu kami bersimpuh di bawah di atas sajadah. Adik kami yang dua lainnya sudah kembali ke Malang karena harus tugas lagi di Lombok.
“Mbang……..aku……mau………berdo’a……… Mbang.” Papa  bicara kepada adik saya. Anak kesayangannya setelah Nanang. Adik kedua saya persis.
Adik saya melihat saya kemudian saya pimpin doa sementara adik saya membersihkan tangannya dengan washlap dan mewudhu’kan Papa dengan cara mengusapnya .
“Pa ikuti kami ya? Ashaduala ilahaillallah wa ashadu anna Muhammadarrasulullah. “
Meskipun dengan beberapa ulangan akhirnya kami berhasil.
“Ashadu ala ilahaillallah wa ashadu anna Muhammadarrasulullah……………………..”
“Subhanalloh. Alhamdulillah. Lailaha Illallah. Allohu akbar……….............................”
Kemudian dia menirukan setiap kalimat yang kami diktekan padanya. Kami mengajaknya membaca dzikir sholawat dan istighfar dan juga Lailaha illallah Subhanalloh Alhamdulillah Allohu akbar banyak-banyak………………………dia mau saja.

Apapun yang kami ucapkan dia senang sekali mengucapkannya bahkan kesannya seperti orang yang haus dan ingin minum sebanyak-banyaknya atau orang yang lapar dan ingin makan dengan selahap-lahapnya. Kami tidak perduli dengan perawat yang keluar masuk merawat dan mengecek keadaan temperaturnya dan juga tekanan darahnya dan makanannya yang dari hidung itu. Kami bahkan mengajaknya berdzikir kalimat Toyyibah. Ajaibnya dia mengikuti saja dengan baik dan pas apa yang  kami ucapkan.
Hal ini berlangsung sampai entah berapa lama sehingga Papa kami tertidur dan ternyata waktu subuh telah datang merembang sehingga kami berangkat ke masjid. Sementara

Ibu kami yang tinggal bersama Papa yang sedang tidur. Ibu kelihatan sedih sekali dan air mata beliau jatuh berderai-derai karena memang seumur nikahnya, papa tidak pernah marah dengan Ibu. Dia hanya diam jika diberi makan oleh  Ibu makanan yang tidak disukainya. Bahkan jika anak tirinya nakal dan merusak barang atau menghabiskan uang yang seharusnya untuk SPP papa hanya menyuruh Ibu kami bersabar dan mendoakan mereka agar suatu hari sadar dan bisa disiplin. Papa saya hampir tidak pernah marah atas perkara-perkara yang dilakukan oleh anak-anaknya. Semuanya dianggap masalah yang wajar saja.

Pukul 7 pagi kurang lebih kami diminta oleh dokter agar Papa dirawat di ICU oleh TIM khusus dan lebih intensif lagi tidak seperti di ruangan VIP ini. Kami menolak karena kami senang Papa dalam perawatan kami dan bisa kami doakan sebanyak-banyaknya tanpa prosedur yang bertele-tele seperti di ICU. Akhirnya kami mengalah ketika dokter Yoshua mengatakan bahwa itu atas instruksi  dari Belanda. Rupanya setiap perkembangan Papa dilaporkan oleh pihak Rumah Sehat ke Belanda.  Kami kalah saja.

Dalam ICU itu kami lihat beberapa pasien yang sudah lama sekitar 40 hari masih diinfus dan diberikan oksigen dengan alat apa namanya kami tidak tahu. Seorang lagi bergerak-gerak dengan keras melengkungkan badannya seolah dia kesakitan luar biasa sehingga dipan yang digunakannya berderak-derak menari-nari. Seorang wanita yang matanya melotot memandang ke kiri dan kanan tidak sadarkan diri selama seminggu karena minum racun. Bunuh diri yang terselamatkan. Ada juga orang yang teriak teriak kesakitan karena kateter dan beberapa orang lagi yang tidak sadar entah berapa lama. Sedangkan ayah kami ada di posisi hampir di tengah-tengah ruangan dan kepalanya membujur ke barat. Masih tidur. Kami membaca Yassin dan beberapa surat hingga entah pukul berapa kami sudah agak lupa yang jelas petugas menyuruh kami keluar sebentar.

Tidak lama kemudian kami bertemu dengan keluarga Bapak yang melengkung-lengkungkan badannya karena keracunan obat itu.  Entah keberanian darimana ingin sekali saya membacakan Yassin untuknya agar dimudahkan atau disembuhkan olehNya. Keluarganya mengiyakan. Saya juga menawarkan hal yang sama dan anak itu juga mengiyakan. Akhirnya saya bacakan Yassin setelah saya pegang dan cium ubun-ubunnya sambil membaca sholawat dan Fatihah. Kemudian setelah selesai baca Yassin saya tiupkan ke sekujur tubuhnya yang melengkung bergerak-gemetaran itu. Dan tidak lama badannya mulai melemah. Seorang dari keluarganya menoleh kepada saya dan diam membisu. Saya berdoa. ”Ya Allah jika dalam kehidupan ada kebaikannya, maka sembuhkan dia dengan mukjizat Engkau dan berilah dia hidayah ISLAM dan Iman, dan sekiranya dalam kematian ada kebaikannya, maka matikan dia dengan segera. Engkau Maha Tahu dan Maha Perkasa atas segala sesuatu  Ya Allah. “  saya tutup dengan sholawat Nabi. Entahlah apakah dia bisa mendengarkan doa saya atau tidak semua saya serahkan kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Setelah itu saya juga bertemu dengan anak dari Ibu yang gagal bunuh diri itu. Namanya Susanto dari Cengkareng – Jawa Barat. Dan saya minta ijin juga untuk mendo’akan ibunya yang sudah hampir 10 hari komma dengan mata melotot seperti. Dia ijinkan saya untuk melakukan do’a kepada ibunya.  Pelajaran besar bagi saya seumur hidup saya di masa yang akan datang.
“Ya Allah hamba mohon ampunilah dosa hamba dan seluruh  kaum muslimin muslimat. Jika dalam kehidupan ada kebaikannya orang ini, maka hidupkanlah dia sembuh dengan mukjizatMu. Dan berilah dia hidayah Islam dan Iman. Jika dalam kematian ada kebaikannya maka ambillah dia dengan segera dan mudahkanlah dia (karena dia orang Nasrani saya tidak mohonkan ampun atas dirinya).“ kemudian saya tutup dengan bacaan sholawat. Allah jawab do’a saya karena segera Ibu yang gagal bunuh diri itu sadar dan membuka mata. Dia seorang Cina dari Cengkareng. Anaknya Susanto yang ada di dekat ibunya ketika melihat ibunya sadar dia mengucapkan terima kasih kepada saya.

“ Jangan berterima kasih pada saya. Bersyukurlah pada Allah, karena semua itu datang dari Allah. Saya hanya mendo’akan saja. Semua keputusan di tangan Allah SWT.
Saya senyum dan ibu itu heran melihat saya. Anaknya senyum.  Bahagia semuanya.
“Saya temannya Susanto, anak ibu,” saya berkata sambil tersenyum.
Akhirnya saya tinggalkan mereka dan tak lama saya lihat beberapa suster datang dan entah apa yang mereka bicarakan. Kemudian mereka memindahkan Ibu Susanto karena dinyatakan baik kesehatannya ke ruangan  lainnya.

Kemudian sekitar pukul 12 lebih kami berkunjung bergantian ke ICU. Ibu dahulu, kemudian paman kami yang tinggal di Jakarta, Om Prapto, kemudian adik kami, Bambang dan terakhir saya. Semuanya tidak menemui Papa dalam keadaan sadar. Sebab Papa dalam keadaan tidur. Sekitar pukul 4.30 Ibu paman dan adik saya mengunjungi Papa lagi, namun semua mendapati Papa dalam keadaan tidur. Alhamdulillah , saya justru menemui dia sadar membuka mata dan melihat saya. Dia masih  dalam keadaan susah dengan sakitnya mungkin. Dia kemudian memegang kepala belakangnya sambil memijit-pijitnya. Akhirnya saya memberi salam dan dijawab wa‘alaikumussalam. Kemudian kepalanya saya pijit bagian belakangnya. Saya duduk di samping tangan kanannya. Terus saya pijitpijit kepalanya. Saya bilang beberapa kalimat padanya.
“Pa, semua ini ujian dari Allah. Yang penting Papa sudah Islam tadi malam. Allah berjanji siapa saja yang di usia tuanya dihabiskan dalam Islam maka dia akan diberikan wajahnya bersinar layaknya matahari kelak pada hari Kiamat. Semoga itu termasuk Papa.” Dia pandang saya dengan pandangan kosong tanpa makna, absent kehidupan.
“Berdo’alah Pa agar Allah berikan Papa kesembuhan dengan segera.”

Setelah saya pijit-pijit beberapa lama kepalanya, kemudian dia tidur kembali dan nyenyak sekali nampaknya. Nafasnya teratur. Selayaknya orang yang sehat sekali tanpa penyakit. Kulirik seorang pemuda di sebelah kiri Papa sedang mendengarkan lagu-lagu rohani dengan wajah yang nampak menahan sakitnya entah sakit apa. Saya tidak tahu. Lalu saya mendekatinya dan memberikan nasehat beberapa kalimat.
“Mas semoga DIA segera memberikan kesembuhan pada anda dan hidayahNya,” saya elus kening kepalanya. Dia nampak sedih dan mungkin terharu dengan sikap saya itu. Saya senyum dan bertanya sebuah kalimat yang dahulu sering disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau dakwah.

“Mas kebahagiaan kita di dunia dan akherat ada pada kalimat Lailaha Illallah,”  dia mengangguk. Lalu saya meninggalkan ruangan itu. saya berbincang-bincang di luar dengan beberapa orang yang mempunyai keluarga di ICU dan ruangan dekat ICU itu. saya temukan suami isteri anak dari Bapak yang diinfus dan dioksigen lama sekali hampir 40 hari lamanya. Kami ngobrol sebentar tentang penyakit dan Kalimantan asal mereka berdua dan ayahnya yang sedang sakit itu.

Malam hari setelah sholat Isya’ Ibu pamitan tidur di rumah paman malam itu. Entahlah saya hanya mengiyakan saja. Padahal jaraknya jauh dari Cikini ke Depok. Dan kami ijinkan. Adik saya juga ijin tidur.  Saya ijinkan pula. Saya sendiri berbincang dengan beberapa orang penunggu pasien ICU itu tentang penyakit dan segala macam termasuk biaya yang mahal di ICU Rumah Sehat itu.  Kira-kira sekitar pukul 21.30 petugas mamanggil nama penjaga Bapak Gerrard Gerrit Roland. Papa kritis. Adik saya saya bangunkan. Kami masuk.  Kemudian kami lihat dokter memperhatikan detak jantung nadi dan pernafasan Papa dan perawat memompa paru-paru papa dengan alat apa saya tidak tahu. Saya membaca surat Yassin dan berdoa kepada Allah. Kira-kira 30 menit kemudian saya  lihat Papa sudah tiada. Saya buka matanya yang telah hilang cahaya kehidupannya. Saya sedih dan lega. Karena dia sudah mengucapkan kalimat Lailaha Illallah. Saya menangis dan kemudian saya mencium keningnya sambil mengatakan kalimat kurang lebih demikian.
“Pa saya sudah ridho Pa. selamat jalan dan maafkan kami atas kesalahan kami. Papa telah Islam dan mengakui kalimat Lailaha Illallah sesuai dengan pesan Allah di Al Qur’an janganlah kita mati kecuali setelah mengakui Lailaha Illallah dalam Islam. Pa saya bersyukur pada Allah atas hidayah yuang diberikan olehNya pada Papa. Karena Papa orang baik dan suka menolong anak yatim dan orang miskin ,” kata saya disela sela kegiatan suster yang memompa alat itu dan pemeriksaan denyut nadi Papa. Selanjutnya saya beritahukan dokter dan para perawat untuk menghentikan memompa-pompa papa saya yang sudah tiada.
Dokter itu memaksa prosedur pompa harus dilanjutkan terus dan treatmen terakhir adalah menggunakan alat di samping saya. Yang saya gak tahu namanya. Hati kecil saya mengatakan alat itu adalah untuk melestarikan mulut manusia bergerak seolah bernafas padahal mungkin sudah meningggal dunia.  Saya menolak setelah saya tanya dokter berapa persen jaminan kesembuhan Papa dengan alat itu. Padahal saya tahu Papa sudah wafat. Dokter angkat bahu dan tidak menjamin apapun. Lalu saya putuskan agar semua tretmen dihentikan oleh pihak RS. Dokter menjelaskan semua ini adalah aturan kedokteran dan juga permintaan dari pihak  Belanda. Katanya harus dikerjakan semaksimal mungkin untuk Papa saya. Saya tetap menolaknya. Dia telah wafat!
“ Dokter mungkin tidak tahu ciri orang yang sudah meninggal dunia. Jika sudah dibacakan  surat Yassin kemudian dia menutup mata itu tandanya dia sudah meninggal dunia. Apalagi jika denyut nadinya sudah tidak ada,” saya menuntun tangannya ke arah Papa saya dan berkata lagi,” Ini Dok, buka matanya dan tanda bahwa sinar kehidupan telah tidak ada……dia sudah meninggal dunia…..dan……dalam Islam Dok. Saya lega karena saya berhasil mengajak Papa saya ke pada Allah SWT.  Anda tidak tahu orang yang sudah mati atau belum. Ini ilmu yang anda harus ketahui dengan cara membaca Yassin.“ dokter itu hanya mengangguk. Namanya dokter Yossua. “Beruntung Bapak bisa tahu ilmu itu.  Terima kasih“ katanya melemah.
“Andapun bisa,” sambil saya peluk kemudian saya bisikkan kalimat berikut ini,” Semoga Allah SWT membalas anda dengan hidayah pak Dokter bisa bertemu DIA di Surga.”
“Amin,”  katanya lembut. Saya hanya menyampaikan firman-firmanNya kepada siapapun di dekat saya. Dia mengangguk dan menyuruh saya menandatangani formulir yang menyatakan bahwa saya menolak perawatan selanjutnya.

Akhirnya saya tanda tangani dan siap bertanggung jawab masalah ini ke Belanda. Kemudian saya peluk lagi dokter itu dan mengucapkan terima kasih kepada para perawat sambil mengikuti mayat Papa dibawa keluar ruangan menuju kamar jenazah untuk dimandikan.  Saya ketemu dengan suami isteri dari Kalimantan itu mereka bertanya menyambut saya di luar kamar ICU itu.
“ Meninggal?”
“Iya alhamdulillah saya rela dan lega kok. Tolong ayah anda itu dikeluarkan saja dari situ. Dia nampaknya sudah sama dengan Papa saya. Hanya alat itu saja yang menggerak-gerakkan mulutnya. Seolah dia bernafas, padahal dia telah tiada. Rumah Sehat sih  senang saja. Duitnya yang penting mas. Cepat saja bacakan Yassin dan kemudian keluarkan dia.”

Tepat pukul 22.10 menit jenazah Papa saya dibawa dengan kereta dorong ke kamar jenazah menunggu orang yang akan memandikan jenazahnya. Yakni seorang Ustaz. Sebab Papa kami Islam. Maka pihak Rumah Sehat PGI Cikini ini harus memanggil Ustaz. Tidak lama sekitar 01.00 dini hari datanglah Ustaz itu. Dia kemudian menyiapkan segala sesuatu termasuk kain kafan di atas meja.  Parfum, kapur barus, air penuh beberapa bak, tali kafan, kapas, selang air. Setelah siap semua dia mendekati Papa. Dan kemudian membuka tutup jenazah Papa.  Ajaib sekali, dia berteriak gembira dan betapa kagetnya dia melihat tubuh papa saya yang sudah tidak bernyawa itu. Dia lalu menoleh dan bertanya pada kami.
“Loh…….. Siapa ini? Papamu?”
“ Papa kami. Kenapa pak Ustaz?”
“Inilah orang baik. Saya tumben lihat orang kayak gini. Jarang orang mati begini. Hari apa ini? He hari apa ini?! Masak gak tahu kalian? Hari ini hari apa?”
“Rabo malam,” jawab saya dan adik saya serentak lagi.
“Bukan……. Hari …apa.…. hari …..ini?”
“Lha iya. Hari Rabu malam pak Ustaz.” Kata kami mengulangi mungkin dia tidak mendengarkan jawaban kami tadi.
“Ini hari 10 Muharram. Hari meninggalnya Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa. Papamu ini orang baik. Gak tahu kamu tandanya yah?” dia bertanya seakan seorang ahli kematian. lalu dipegangnya badan dan tangan  Papa kami dengan senangnya.
“ Tidak tahu pak Ustaz.” Kami dengan bodoh menjawabnya.
“ Nih lihat.” Sambil dia memutar-mutar tangan papa untuk membuka bajunya. Memang Papa seperti orang tidur saja meskipun telah beberapa jam dia wafat dia tetap tidak kaku badannya. Bahkan nampak benar bagaikan orang yang sedang tidur pulas.
“ Ini orang Ikhlas menemui Allah. Lemas badannya dan keringat di dahinya itu keringat hangat. Ayo kita berdo’a semoga kita bisa Husnul Khotimah seperti dia nanti, ya?” dia memandang kami. Kami mengiyakan dan menengadahkan tangan kami. Dan kami mengaminkan do’a Ustaz ini.

Setelah berdoa barulah dia memulai memandikan tubuh papa dan kami. Disuruhnya kami melihat agar nanti bisa memandikan orang yang sudah meninggal dunia. Demikian pula doa dan tata cara menyiapkan kain kafannya serta wangian-wangiannya. Setelah semuanya selesai kami sholatkan dia tanpa Ibu kami di dalamnya. Barulah setelah selesai Papa dimandikan Ibu kami datang bersama paman. Papa dimasukkan peti mati dan menunggu instruksi dari SOS Internasional Belanda lagi dan kapan Papa diberangkatkan ke Malang. Kami menunggu dan terus menunggu hingga siang harinya.  Kami tidak tahu.

Entahlah kenapa hingga siang hari pihak SOS Jakarta tidak mendapatkan konfirmasi dari Belanda meskipun sudah dikontak berkali-kali. Akhirnya kami menerbangkan Papa kami sendiri dengan Garuda ke Surabaya dengan biaya sendiri. Mungkin pihak Belanda marah karena Papa kami masuk Islam dan diurusnya jenazah itu dalam tatacara Islam. Entahlah hingga saat ini kami tidak tahu sama sekali. Sesampainya di Malang sekitar pukul 10 malam diangkut dengan ambulans dari Surabaya ke Malang. Dan orang kampung sudah menunggu untuk menyolatkan Papa di rumah kami. Adik-adik kami minta peti Papa dibuka. Akhirnya mereka memberikan pandangan terakhir. Dan doa terakhir untuk kepergian Papa Roland yang telah kami ubah namanya menjadi Abdullah Gerrit Goffar. Orang kampung senang sekali membawa jenazah papa ke kubur walaupun malam telah tiba. Pemakaman dilaksanakan juga. Dan saya sendiri yang mengazankan dan mengikomatkan papa di dalam kubur sebagai penghargaan terakhir untuk papa Abdullah Gerrit Goffar. Seseorang berkata dari atas kubur,” Talkinkan dia.”

Entahlah saat itu saya segera ingat pada hadits Nabi Muhammad SAW bahwa orang Islam belajar ilmu dari gendongan sampai masuk liang lahat. Inilah maksud hadits itu agar yang hidup mentalkinkan  lagi saudaranya yang sedang di dalam kubur itu. Memang jazad tidak bisa mendengarkan namun ruhnyalah yang pasti selalu sehat wal ‘afiat dan bisa mendengarkan kita dengan hebat. Selamat jalan dan sampai berjumpa lagi Papa di Surga kelak dengan kami.

Alhamdulillah usaha 18 tahun dakwah akhirnya membuahkan hasilnya pula. Benarlah sabda Nabi agar kita terus berdakwah hingga di antara  yang didakwahi atau yang berdakwah meninggal.  Segala puji hanya bagi Allah. DIA berfirman bahwa barangsiapa bersungguh di jalanNya, maka DIA akan bukakakn jalan-jalan menuju kepadaNya. Semoga Allah menetapkan kekuatan dakwah para Nabi semuanya kepada kita semua orang Islam agar kita tanpa takut dan putus asa menjalankan tanggung jawab dan kewajiban kita sebagai ummat ISLAM. Sholat Puasa dan ZAKAT dan Haji adalah kewajiban kita namun tugas dan tanggung jawab ummat Islam kepada ummat lainnya adalah senantiasa mendakwahkan memperkenalkan siapa Allah Tuhan YME dan Maha Kuasa dengan segala sifatNya dan keagunganNya dan murni suci agungnya agama Allah, Islam sebagai rahmat seluruh alam. Amin Ya Robbal ‘alamin.

Sebagai penutup akhir dan kesimpulan kisah Papa Roland yang telah menjadi Abdullah Gerrit Goffar Roland nama yang kami berikan ketika Ustaz di kamar mayat itu minta namanya digantikan. Marilah kita perhatikan apakah amalan Om Roland sehingga bisa diberikan Husnul Khotimah olehNya?
1.    Dia non muslim yang bersedekah kepada orang muslim apalagi anak yatim piatu. Nabi bersabda: Yang dibenci oleh syetan adalah orang kafir yang senang bersedekah dan yang disenangi syetan adalah orang beriman yang bakhil.
2.    Dia senang berkumpul dengan orang Islam dan bersabar dengan keburukan yang mereka  kerjakan bahkan lebih banyak memaafkan.
3.    Mau membuka hatinya untuk hidayah. Sebab Allah hanya memberikan kepada orang yang mau menerima hidayahNya. Sehingga tidak heran jika dia sebelum akhir hayat mendapat rahmat dariNya dan mau berdoa dengan cara Islam dan berdzikir memuji-muji Allah SWT.
4.    Mau belajar Islam terbukti dengan membuka tentang Islam di Internet dan juga melihat orang sholat dan  mau mengikuti apa kegiatan orang Islam (pernah mama suruh membawa takjil ke masjid ketika bulan Ramadhan, dia bertopi ala orang Islam dan membawa jajan itu ke masjid dengan senyum kepolosan hatinya).
5.    Mempunyai banyak kebaikan yang merupakan sifat-sifat Allah SWT meskipun beliau tadinya belum Islam.
6.    Om Roland mau hijrah meninggalkan negeri yang modern dan kaya untuk hijrah menuju negeri yang penuh dengan orang Islam.
7.    Om Roland lebih memilih janda miskin daripada anak gadis  ketika menikah. (saya lupa menceritakan bahwa saya pernah menawarkan teman sekelas saya pada Papa ketika belum kenal mama saya untuk menikah dengannya. Namun dia menolak).